Dilema ( 1 )

Dengan menyandang predikat sebagai guru professional, maka loyalitas pun harus maksimal. Jangan sampai keberkahan hilang karena keegoisan kita. Ketika saya sudah menikah, ditahun kedua pernikahan, Tuhan sudah menitipkan rizki kepada saya seorang bayi laki-laki yang sehat. Di tahun ketiga, saya kembali dianugerahi seorang bayi perempuan yang sempurna. Peran saya sebagai ibu rumah tangga pun dituntuk lebih. Tetapi tanpa mengesampingkan kewajiban sebagai pendidik.

Bukan rahasia umum jika memiliki dua anak balita pasti akan menguras tenaga dan fikiran. Memang ketika itu saya masih ikut dengan orangtua saya. Namun, orangtua khususnya ibu saya akan menemani anak-anak ketika saya tinggal mengajar.

Ketika anak-anak rewel di pagi hari, atau ketika anak sakit, sudah dipastikan saya terlambat datang ke sekolah bahkan saya sering sekali izin ketika anak-anak sakit. Walaupun pihak sekolah mengizikan, namun saya juga merasa malu. Tidak mungkin saya akan seperti ini dalam waktu yang cukup lama mungkin, mengingat dua anak saya yang selisih usianya tidak begitu jauh.

Suami menyarankan untuk melepaskan satu atau dua sekolah, dan fokus di satu tempat saja. Menjadi dilemma tersendiri bagi saya ketika itu. Saya di sekolah dasar negeri, berharap suatu ketika mendapat SK dari Bupati sebagai tenaga honorer dan pada akhirnya diangkat sebagai pegawai negeri. Karena memang rumor yang ada pada waktu itu memang setelah lima tahun kemungkinan dapat diangkat sebagai tenaga honorer.

Akan tetapi, saya sudah menginduk di madrasah. Saya pun sudah terjaring sertifikasi di madrasah. Disisi lain, lokasi madrasah dekat dengan rumah, jadi saya dapat pulang untuk memberi ASI anak saya ketika istirahat.

Untuk SMK, pelajaran yang saya ampuh sesuai dengan ijazah pertama saya. Saya juga nyaman dengan lingkungannya. Tetapi jarak yang ditempuh cukup jauh.

Dengan berbagai pertimbangan, suami menyarakan saya untuk memilih madrasah saja. Insyaallah rizki sudah dijamin Allah, yang penting ihlas, dan apa yang saya lakukan menjadi berkah. Di madrasah, saya masih bisa mengurus anak-anak dan tetap menjalankan kewajiban mengajar. Begitu kira-kira yang suami sampaikan kepada saya.

Dengan bsimillah, saya pun mengajukan pengunduran diri dari sekolah dasar dan mempertahankan madrasah dan SMK. Saya pilih madrasah sesuai arahan suami saya dan juga karena saya sudah terjaring sertifikasi. Saya pilih SMK, walaupun jauh karena pihak SMK masih mau memberi dispensasi kepada saya untuk mengajar hanya dua hari saja. Pihak sekolah akan mencari guru baru seiring bertambahnya rombel dan jurusan disana.

Pihak sekolah dasar merasa keberatan ketika saya mengajukan pengunduran diri. Kepala sekolah yang baru berusaha mempertahankan saya. Beliau akan berusaha mengajukan jika ada permohonan tenaga honorer. Saya tetap pada keputusan saya. Pihak sekolah meminta saya mencarikan pengganti saya sebagai tenaga administrasi dan mengajarinya berdasarkan job description tenaga administrasi. Agar tidak mengecewakan pihak sekolah dasar, saya meminta pihak sekolah yang mencari pengganti saya, dan saya yang akan membimbingnya hingga lancar sesuai tugas dan kewajibanya.

Sekolah dasar saya lepaskan karena disana saya hanya sebagai tenaga administrasi. Sedangkan saya berharap menjadi guru. Melihat kondisi dilapangan bahwa posisi guru sudah terisi semua, saya berasumsi jika selamanya saya pun akan menjadi tenaga administrasi di sekolah tersebut.

24 jam pelajaran saya tempuh selama tiga hari di madrasah, dan dua hari di SMK. Artinya saya mempunyai waktu libur 2 hari di rumah ketika itu. Terkadang beberapa waktu saya juga harus ke sekolah dasar untuk mendampingi tenaga administrasi yang baru

ditulis oleh : atik puspita
Gresik, 9 Februari 2021

The Final Note

  Alhamdulillah, sekian kisah dari perjalanan hidup saya menggeluti dunia pendidikan dengan segala asam manisnya tertuang dalam catatan Tant...