Dengan menyandang predikat sebagai guru professional, maka loyalitas pun harus maksimal. Jangan sampai keberkahan hilang karena keegoisan kita. Ketika saya sudah menikah, ditahun kedua pernikahan, Tuhan sudah menitipkan rizki kepada saya seorang bayi laki-laki yang sehat. Di tahun ketiga, saya kembali dianugerahi seorang bayi perempuan yang sempurna. Peran saya sebagai ibu rumah tangga pun dituntuk lebih. Tetapi tanpa mengesampingkan kewajiban sebagai pendidik.
Bukan rahasia umum jika
memiliki dua anak balita pasti akan menguras tenaga dan fikiran. Memang ketika
itu saya masih ikut dengan orangtua saya. Namun, orangtua khususnya ibu saya
akan menemani anak-anak ketika saya tinggal mengajar.
Ketika anak-anak rewel
di pagi hari, atau ketika anak sakit, sudah dipastikan saya terlambat datang ke
sekolah bahkan saya sering sekali izin ketika anak-anak sakit. Walaupun pihak
sekolah mengizikan, namun saya juga merasa malu. Tidak mungkin saya akan
seperti ini dalam waktu yang cukup lama mungkin, mengingat dua anak saya yang
selisih usianya tidak begitu jauh.
Suami menyarankan untuk
melepaskan satu atau dua sekolah, dan fokus di satu tempat saja. Menjadi dilemma
tersendiri bagi saya ketika itu. Saya di sekolah dasar negeri, berharap suatu
ketika mendapat SK dari Bupati sebagai tenaga honorer dan pada akhirnya
diangkat sebagai pegawai negeri. Karena memang rumor yang ada pada waktu itu
memang setelah lima tahun kemungkinan dapat diangkat sebagai tenaga honorer.
Akan tetapi, saya sudah
menginduk di madrasah. Saya pun sudah terjaring sertifikasi di madrasah. Disisi
lain, lokasi madrasah dekat dengan rumah, jadi saya dapat pulang untuk memberi
ASI anak saya ketika istirahat.
Untuk SMK, pelajaran
yang saya ampuh sesuai dengan ijazah pertama saya. Saya juga nyaman dengan
lingkungannya. Tetapi jarak yang ditempuh cukup jauh.
Dengan berbagai
pertimbangan, suami menyarakan saya untuk memilih madrasah saja. Insyaallah
rizki sudah dijamin Allah, yang penting ihlas, dan apa yang saya lakukan menjadi
berkah. Di madrasah, saya masih bisa mengurus anak-anak dan tetap menjalankan
kewajiban mengajar. Begitu kira-kira yang suami sampaikan kepada saya.
Dengan bsimillah, saya
pun mengajukan pengunduran diri dari sekolah dasar dan mempertahankan madrasah
dan SMK. Saya pilih madrasah sesuai arahan suami saya dan juga karena saya
sudah terjaring sertifikasi. Saya pilih SMK, walaupun jauh karena pihak SMK
masih mau memberi dispensasi kepada saya untuk mengajar hanya dua hari saja. Pihak
sekolah akan mencari guru baru seiring bertambahnya rombel dan jurusan disana.
Pihak sekolah dasar
merasa keberatan ketika saya mengajukan pengunduran diri. Kepala sekolah yang
baru berusaha mempertahankan saya. Beliau akan berusaha mengajukan jika ada
permohonan tenaga honorer. Saya tetap pada keputusan saya. Pihak sekolah
meminta saya mencarikan pengganti saya sebagai tenaga administrasi dan
mengajarinya berdasarkan job description tenaga administrasi. Agar tidak mengecewakan
pihak sekolah dasar, saya meminta pihak sekolah yang mencari pengganti saya,
dan saya yang akan membimbingnya hingga lancar sesuai tugas dan kewajibanya.
Sekolah dasar saya
lepaskan karena disana saya hanya sebagai tenaga administrasi. Sedangkan saya
berharap menjadi guru. Melihat kondisi dilapangan bahwa posisi guru sudah
terisi semua, saya berasumsi jika selamanya saya pun akan menjadi tenaga
administrasi di sekolah tersebut.
24 jam pelajaran saya
tempuh selama tiga hari di madrasah, dan dua hari di SMK. Artinya saya
mempunyai waktu libur 2 hari di rumah ketika itu. Terkadang beberapa waktu saya
juga harus ke sekolah dasar untuk mendampingi tenaga administrasi yang baru
Gresik, 9 Februari 2021