Sertifikasi

Hari-hari saya mulai terisi dan terbiasa dengan dunia pendidikan. Dunia anak-anak hingga remaja, bahkan berbagai karakter dari rekan-rekan kerja. Saya mulai belajar memahami dan mencoba menyesuaikan. Mulai menata hati untuk bekerja ihlas, bekerja cerdas, dan bekerja tuntas.

Pagi saya jalani di madrasah dan sekolah dasar, siang saya lanjutkan langkah di SMK. Begitu setiap hari. Mulai merasakan ritme irama mengajar. Merasakan manis pahitnya dunia pedidikan.

Jika mengutip dawuhnya Almarhum KH. Maimoen Zubair, " jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar. nanti kamu marah ketika melhat muridmu tidak pintar. ihlasnya akan hilang. yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. maslah muridmu pintar atau tidak, serahkan pada Allah. didoakan saja terus agar muridnya dapat hidayah".

Memang benar, diawal mengajar saya tekankan agar anak didik saya pintar, bisa, paham, mengerti, dan dapat nilai bagus. Pada akhirnya ketika mereka mendapat nilai kurang, saya marah-marah. Saat ini saya memahami jika arakter setiap peserta didik itu berbeda, kita tidak dapat memaksakan mereka untuk menguasai semua materi, semua disiplin ilmu. 

Saya mulai mengubah strategi pembelajar saya. Saya lebih banyak bicara dari hati dan mendengarkan bagaimana kemauan mereka dalam memahami suatu materi, saya mulai mencoba melakukan pendekatan-pendekatan. Tak lupa saya selipkan doa di akhir sholat saya.

Suami pun mendukung penuh apa yang saya lakukan, menurutnya jangan lihat nominalnya dalam mengajar, ambil berkahnya, toh walaupun hanya menerima 600ribu sebulan, nyatanya selama ini sebelum menikah, saya juga mampu membantu kebutuhan orangtua saya, mampu menyumbang biaya sekolah adik-adik saya. Mungkin ini yang dinamakan berkah.

Alhamdulillah, setelah menata hati, menjalani profesi ini dengan sudut pandang berbeda, dengan dukungan penuh dari suami dan keluarga. Ditahun 2014, nama saya muncul di website Kementerian Agama terjaring untuk mengikuti Sertifikasi Guru (Sergur).

Perjalanan saya untuk terjaring sergur ini juga tidak muda. Ketika itu saya melihat daftar nama yang terjaring PLPG di website kementerian agama, tercatat nama saya. Namun, kepala madrasah saya menyampaikan jika nama teman saya yang tercatat. Saya menanyakan mengapa saya tidak, padahal di website Kemenag ada nama saya, namun tidak ada jawaban yang pasti.

Saya pun menelusur ke Kemenag kabupaten bagian Pendidikan Madrasah (Pendma), pihak Pendma menyatakan menerima data dari kanwil. Saya mendatangi kanwil, pihak kanwil menyatakan menerima data dari LPTK. Saya pun mendatangi LPTK, ketika itu IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pihak LPTK menyatakan jika data yang diterima berasal dari kabupaten. Saya pun menyerah dan pasrah. Memang bukan rizki saya.

Kecewa. Tidak munafik jika setiap guru khususnya akan merasa senang jika terjaring sergur. Bagimana tidak, hal tersebut merupakan salah satu harapan untuk meningkatkan penghasilan, yang semula hanya beberapa ratus ribu, menjadi 6 digit angka, apalagi saya juga sudah memiliki Sk Inpassing (penyetaraan golongan). 

Saya hanya menangis kecewa, berdoa semoga ada himah dibalik semua ini. Suami pun menguatkan, bahwa rizki itu tidak hanya berupa uang, anak-anak sehat, keluarga adem ayem merupakan bagian dari rizki. Lambat laun saya bisa mengikis kekecewaan saya.

Di tahun 2015, saya resmi menerima surat panggilan untuk mengikuti sertifikasi guru melalui pola Pendidikan dan Latihan Profesi Guru ( PLPG ) di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Sebenarnya saya sudah tidak terlalu berharap, tetapi melihat nama saya ada di lampiran belakang surat panggilan pemberkasan dari Pendma kabupaten, dengan bismillah, saya pun melangkah mengikuti sertifikasi guru tersebut.

Senang namun berat. Senang artinya jika lulus saya mendapat tunjangan yang insyallah lebih banyak dari sebelumnya, artinya saya dapat menabung untuk sekolah anak saya dan membantu suami saya secara finansial. Berat, karena saya harus meninggalkan dua anak saya yang ketika itu berusia 2 th dan 1 th. 

Ayah, Ibu, dan suami menguatkan saya, meyakinkan saya jika anak-anak akan baik-baik saja. Saya bisa melakukan video call kapanpun. Sepuluh hari berpisah dengan mereka yang masih kecil begitu menyesakkan dada. Naluri ibu yang tidak dapat dipungkiri. Bagimanapun keluarga memang tempat yang terbaik.

Tepat pada hari jumat bulan Oktober tahun 2015, entah tanggal berapa, saya pun berangkat mengikuti PLPG di Kota Batu. saya harus fokus dan lulus PLPG. Saya tidak boleh mengecewakan orang rumah. Saya tidak boleh melakukan pengorbanan yang sia-sia. Alhamdulillah, 10 hari terberat dapat saya lalui. Sertfikat pendidik pun saya terima tiga bulan kemudian.

Dengan menyandang predikat guru profesional, saya harus bisa lebih baik, harus bisa lebih total dalam mendidik siswa-siswi saya.


ditulis oleh : atik puspita
Gresik, 8 Februari 2021


The Final Note

  Alhamdulillah, sekian kisah dari perjalanan hidup saya menggeluti dunia pendidikan dengan segala asam manisnya tertuang dalam catatan Tant...