Di Madrasah

pengalaman pertama saya terjun di dunia pendidikan, atau lebih tepatnya mengajar adalah di sebuah madrasah ibtidaiyah swasta. MI Tarbiyatul Ulum, adalah madrasah tempat saya menempuh pendidikan dasar. dulu mungkin saya termasuk siswa berprestasi di madrasah. sehingga image yang tertanam terhadap diri saya bahwa saya adalah siswa yang pandai.

namun sebenarnya image "pandai" yang melekat pada diri saya tidak sepenuhnya benar. nyatanya saya tidak dapat menembus seleksi masuk perguruan tinggi negeri di jurusan pilihan saya atau pilihan orang tua saya. saya hanya dapat lulus dari perguruan tinggi swasta biasa.

permintaan kepala madrasah tersebut kepada saya untuk membantu mengajar di sekolah tersebut tidak dpat saya elak. beliau datang sendiri ke rumah dan meminta saya membantu. alasanya menurut saya lucu, saya "dianggap" pandai dan mumpuni untuk mengajar matematika. saya memang suka pelajaran tersebut, tapi sebenarnya saya tidak sepandai yang dikira.

dengan berbagai alasan membujuk agar saya mau, karena posisi saya waktu itu juga belum lulus dan jurusan saya bukan keguruan atau matematika, akhirnya dengan izin orangtua saya, saya menerima permintaan tolong tersebut.

saya mengisi kelas 5 dan kelas 6 hanya untuk mata pelajaran matematika saja. metode pembelajaran yang saya terapkan hanya caramah dan drill soal. karena memang saya tidak mempunyai basic mengajar, juga belum mengetahui metode pembelajaran yang ada. metode yang saya terapkan adalah meniru guru matematika saya waktu sekolah di madrasah tersebut. karena saya menyukai cara beliau dalam menyampaikan materi. saya menyukai matematika juga karena beliau. ( terkhusus guru matematika saya, almarhum Bapak Miyono, lahul Fatihah... ).

setelah satu minggu pembelajaran, saya dipanggil kepala madrasah. beliau memberikan apresiasi posistif, karena menurut beliau respon siswa-siswi baik. anak-anak merasa apa yang saya sampaikan menyenangkan dan membuat mereka paham.

untuk memastikan mengenai pernyataan kepala madrasah saya tersebut, saya pun membuat angket yang berisi penilaian terhadap diri saya dalam mengajar di kelas. dan alhamdulillah... memang sebagian besar respon siswa adalah menerima.

namun, ada kebiasaan buruk saya yang waktu itu saya terapkan. saya menganggap bahwa untuk disiplin harus dengan memberikan hukuman bagi mereka yang kurang memperhatikan. saya sering memberikan hukuman seperti menyuruh mereka membersihkan kelas, mengerjakan soal tambahan, bahkan menjewer mereka. ya, karena ketidak tahuan saya akan metode pengajaran yang membuat saya berbuat demikian. 

hukuman tersebut sebenarnya saya buat berdasarkan perjanjian kelas di awal saya masuk. dan anak-anak menyetujuinya. 

disamping itu, saya juga merasa belum sepenuhnya mau terjun kedalam dunia pendidikan. saya belum mau menjadi guru, menjadi pendidik, membuat saya belum mau belajar mengenai metode-metode pengajaran dan pembelajaran.

seiring berjalannya waktu, dan semakin putus asa nya saya tidak mendapatkan pekerjaan yang saya impikan, dengan "keterpaksaan" saya pun menjadikan profesi guru sebagai pekerjaan. saya mulai mau megisi kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang ada. 

hingga disuatu hari, saya mendengar ceramah seorang ustadz yang kurang lebih isinya " jika mau kaya jangan jadi guru, karena guru itu tidak ada bayarannya. niatlah mendidik, untuk mendapatkan keberkahan. karena dengan keberkahan, Allah yang akan mencukupinya".

saya merenungi isi ceramah ustadz tersebut. memang benar adanya, jika kita mengejar jumlah dari apa yang kita kerjakan, ketika jumlah tersebut tidak sebanding dengan apa yang telah dikerjakan, yang ada hanyalah kekecewaan dan sakit hati.

kecewa saya rasakan ketika saya mengetahi gaji yang saya terima dari madrasah tersebut. masyaallah.. ternyata sebesar itu gaji guru swasta. Rp.150.000 adalah nominal pertama yang saya terima diawal bulan dari mengajar selama dua hari. jika dikalkulasi memang sangat tidak layak. artinya sehari saya dibayar kurang dari duapuluh ribu.

dari nominal itu, sebagai wujud saya sudah bekerja, saya belikan kebutuhan rumah seperti minyak, gula, sabun mandi, sabun cuci, dan beberapa bahan masak kering sebagai bentuk sumbangsih saya untuk sedikit meringankan beban orangtua saya. satu hal yang tidak saya sangka, betapa bahagianya orangtua saya waktu itu. keempat adik saya saya bagikan lima ribu rupiah. saya ? mungkin hanya sisa 10 ribuan saja.

tapi entah mengapa, nominal sebesar itu dapat membuat keluarga saya merasa bahagia. mungkin memang keberkahan dari profesi guru yang dilimpahkanNya. 

hal ini membuat saya lebih merenung dan mensyukuri akan arti keberkahan. saya mulai menata hati untuk ihlas menjalani profesi saya sebagai guru. saya lebih berniat untuk bagaimana mendidik siswa dengan hati, bukan dengan "kekerasan" yang selama ini saya lakukan. saya lebih sering menyelipkan sebuah doa untuk anak didik saya di setiap sholat saya. bagaimana membuat mereka memahami makna pendidikan, bukan untuk pintar. bagaimana bahagianya orangtua mereka ketika mereka rajin belajar walau tidak mendapat nilai bagus. karena ilmu yang bermanfaat bukan terletak pada nilai yang tinggi, tapi bagaimana ilmu yang mereka terima dapat mengantarkan mereka pada kehidupan yang lebih baik, mengantarkan pada keridhoan orangtua untuk anak-anaknya. yang pada akhirnya keridhoan tersebut menjadikan kemudahan dalam kehidupan mereka. insyaallah..


ditulis oleh : atik puspita
Gresik, 3 Februari 2021

The Final Note

  Alhamdulillah, sekian kisah dari perjalanan hidup saya menggeluti dunia pendidikan dengan segala asam manisnya tertuang dalam catatan Tant...